Pengikut

Kamis, 13 Juni 2013

Mengapa Al Quran Perlu dan Harus Dihafal? (Bagian 2-habis)

Mengapa Al Quran Perlu dan Harus Dihafal? (Bagian 2-habis)


Alasan keharusan menghafal Al Qur’an perlu kita pahami. Agar kita semakin yakin bahwa umat Islam tidak mungkin terus-menerus hidup dalam keadaan krisis kekurangan penghafal Al Quran seperti saat ini. Umat Islam khususnya para aktivis dakwah harus bangkit membangun kembali masa keemasan yang telah diraih oleh salafus shalih (orang shalih terdahulu) melalui Alquran.
Menghafal Al-Quran dan memperbanyak lembaga-lembaga Al Qur’an insya Allah merupakan suatu usaha di antara sekian usaha yang dapat di lakukan oleh para da’i untuk mengembalikan kejayaan umat kepada Al Qur’an sebagai pedoman hidup bagi mereka. Para ulama mengatakan, ”Setiap kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan melakukan suatu pekerjaan, maka (pekerjaan) itu wajib dilakukan.”
Adapun alasan pentingnya menghafal Alquran pada bagian lalu ada empat, yaitu:
1. Al Qur’an adalah manhajul hayah (pedoman hidup) bagi seluruh manusia.
2. Al Qur’an adalah ruh bagi orang-orang yang beriman
3. Al Qur’an sebagai Ad Dzikra (peringatan)
4. Al Qur’an sumber pengetahuan alam
Berikut ini beberapa pertimbangan lain mengapa Al Quran perlu dan harus dihafal, yaitu:
5. Menjaga Ke-mutawatir-an Al Qur’an.
Apakah yang dimaksud berita yang mutawatir? Ulama hadits menjelaskan yaitu, ”Sesuatu yang diriwayatkan oleh orang banyak sehingga mustahil biasanya mereka bersatu dalam kedustaan.” Contohnya bahwa mustahil kalau ada berita bahwa Ka’bah terletak di Mesir, karena secara mutawatir orang mengatakan letaknya di Mekkah.
Kemudahan dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ada sejak 14 abad lalu tanpa terkurangi kata bahkan juga hurufnya. Ini merupakan kenikmatan besar yang harus kita syukuri umat Islam. Hal ini juga tidak terlepas dari jasa para huffazh (para hafidz Al Quran) yang jumlahnya jutaan dan terus ada sepanjang sejarah kehidupan manusia sejak diturunkan Qur’an sampai sekarang. Sehingga Al Qur’an teriwayatkan secara mutawatir dan tidak mudah bahkan tidak mungkin diubah atau dipalsukan oleh tangan-tangan kotor sebagaimana kitab-kitab suci sebelumnya.

Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa hifzhul Qur’an (menghafal Alquran) hukumnya fardhu kifayah. Hal ini agar tidak terjadi pemutusan jumlah kemutawatiran Al Qur’an dan pengrusakan atau pemalsuan oleh tangan-tangan kotor.
Pemahaman fardhu kifayah harus kita pahami secara proposional. Karena saat ini terjadi pemahaman fardhu kifayah yang sempit. Kifayah artinya cukup. Masuk akalkah kaum muslimin di Indonesia misalnya, yang jumlahnya lebih dari 210 juta namun yang hafal Al Qur’an tidak ada satu persen pun? Sehingga andaikata para penghafal Al Qur’an yang ada sekarang menangani pembinaan umat tertentu tidak akan memadai jumlahnya. Karena itu, pelaksanaan fardhu kifayah dalam hifzhul qur’an perlu digalakkan.
Mereka yang telah andil dalam menjaga kemutawatiran Al Qur’an sungguh telah mendapat kehormatan rabbani dari Allah swt. sebagai penjaga keaslian Al Qur’an. Maka wajarlah jika mereka mendapat berbagai macam sebutan, misalnya pilihan Allah (QS 35:32), orang yang telah diberi ilmu (QS. 29:45). Sedangkan Rasulullah menyebutnya sebagai Ahlullah (keluarga Allah). Hadits lain menyebutkan mereka hampir menyamai nubuwah (kenabian). Hanya bedanya mereka tidak menerima wahyu langsung.
6. Meningkatkan kualitas umat
Umat Islam telah dibekali oleh Allah swt. suatu mukjizat yang sangat besar. Ia merupakan sumber ilmu dan petunjuk bagi manusia. Tidak terangkat umat ini kecuali dengan Al Qur’an. ” Allah menjelaskan, ”Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS. Al Anbiya 10).
Tantangan saat ini adalah mempukah kita mengali potensi yang sangat besar ini? Jawabannya, sungguh sangat mampu. Ada kemauan ada jalan. Allah memberi jaminan kemudahan bagi yang serius. ”Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” demikian janji Allah (QS. Al Qamar 17). Tak hanya satu ayat, tapi Allah, mengulangnya hingga empat kali di surat yang sama (ayat 17, 22, 32, dan 40). Tinggal sekarang bagaimana kita merespon janji Allah ini.
Mungkin ada yang berdalih, ”Saya kan sudah tua. Sulit sekali mengingat atau menghafal.” Bukankah banyak sahabat Rasulullah saw. mempelajari dan menghafal Al Quran setelah dewasa? Jadi usia bukanlah halangan. Apalagi kondisi kita sedang dalam tenang dan damai. Jauh berbeda jika dibandingkan tahanan Palestina di Israel yang mengubah penjara menjadi madrasah hafidz Al Quran.
Seorang tahanan Plestina bernama Abu Muaz (52 tahun) berbicara melalui telepon kepada islamonline.com, “Para tahanan di sini berusaha mengisi waktu mereka dengan apapun yang berguna, ini merupakan tantangan antara napi dan sipir penjara. Karena kami ditangkap dan dipenjara dengan tujuan memberi kehidupan psikologis yang ditekan. Tapi keinginan mereka itu tidak berhasil.” Program penghafalan Al Quran di penjara Israel ini pada 2009 lalu telah melahirkan 73 orang hafidz Al Quran dengan ijazah sanad 30 juz. Selain itu ada 299 tahanan juga yang memperoleh ijazah tajwid (http://www.dakwatuna.com/2010/tahanan-palestina-ubah-penjara-israel-jadi-pusat-tahfidz-al-quran/).
Sikap pesimisme untuk menggali Al Qur’an merupakan warisan Yahudi dan Nashrani yang telah berjuang dengan keras bahkan dengan mengeluarkan jutaan dollar untuk menjauhkan umat ini dari Al Qur’an. Mereka sangat paham dampak positif jika umat ini kembali kepada Al Qur’an. Kehancuran sistem kebathilan mereka pasti akan terjadi. Hal inilah yang tidak diinginkan mereka, karena mereka akan mengalami kerugian baik secara ekonomi maupun ideologi.
7. Menjaga kelestarian sunnah-sunnah Rasulullah saw.
Sebagian ibadah yang dilakukan Rasulullah saw. ada yang sangat terkait dengan hafalan Al Qur’an. Hafalan yang terbatas pada surat-surat pendek dalam juz 30 akan membatasi kita dalam meneladani ibadah beliau secara sempurna. Perhatikan, bagaimana beliau membaca surat-surat Al Qur’an ketika shalat Id, Jumat, Subuh, Khusuf dan Kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) serta qiyamullail (tahajud).
Shalat Jumat yang ideal (sesuai tuntunan Nabi) adalah memendekkan khutbah dan memanjangkan shalat. beliau menegaskan, bahwa cara seperti itu merupakan tanda bagi dien seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat dan singkatnya khotbah, menunjukkan pemahaman seseorang dalam agama. Maka dari itu, panjangkanlah shalat dan singkatkanlah khotbah” (HR. Muslim dan Ahmad dari ‘Ammar bin Yasir ra.). Selain membaca surat Al A’la dan Al Ghasyiah, Rasulullah saw. biasa shalat Jumat membaca Al Jumu’ah & Al Munafiqun. Yang kalau diukur dengan kuantitas halaman, dua surat itu masing-masing panjangnya 1,5 halaman.
Bagaimana dengan shalat subuhnya Nabi saw? Beliau sering melakukannya dengan membaca surat-surat yang panjang. Pada hari Jumat Subuh dua surat yang dibaca adalah surat As Sajdah dan Al Insan. Pada hari-hari yang lain beliau juga membaca surat-surat yang panjang seperti surat Ar Rum dan yang lain. Pada waktu shalat Idain (dua hari raya) selain membaca surat Al A’la dan Al Ghasiyah, beliau sering juga membaca surat Qaaf dan Al Qamar yang lamanya bisa mencapai setengah jam. Beliau pernah membaca surat Al Baqarah dan Ali ’Imran dalam tahajud. Pernah juga ditambah surat An Nisaa. Karena panjangnya bacaan, nyaris membuat Hudzaifah yang ikut berjamaah meninggalkan beliau.
Keterangan ini seakan memberi teguran kepada kita betapa umat ini sangat kurang akrab dengan Al Qur’an. Surat-surat yang dibaca oleh para imam masjid atau mushalla terbatas pada surat-surat di Juz Amma (juz 30). Sehingga surat lain menjadi asing di telingga kita. Keadaan ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada usaha peningkatan. Wajarlah  jika generasi sekarang yang ingin menghafal Al Qur’an harus berjuang ekstra keras karena telinga mereka tidak biasa terlatih mendengarkan ayat-ayat panjang.
8. Menjauhkan mukmin dari aktivitas laghwu (tak berguna)
Mukmin yang sejati adalah mukmin yang telah berhasil menjauhkan dirinya dari aktivitas laghwu, baik yang mubah (boleh) apalagi yang haram. Ia harus memiliki sikap yang tidak mudah terbawa oleh arus deras yang membuatnya lupa kepada Allah. Maka wajarlah jika Allah menjamin kesuksesan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Firman-Nya, ”Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang laghwu.” (QS. Al Mukminun 1-3).
Banyak cara yang dapat kita lakukan agar kita terhindar dari laghwu. Kembali kepada Al Qur’an adalah salah satu di antaranya. Dengan selalu membaca apalagi menghafalnya, otomatis akan menjauhkan kita dari laghwu.
Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab ra pernah menempuh perjalanan dari Madinah menuju Baitul Maqdis (Palestina). Ia mengendarai keledai secara bergantian dengan Aslam, pembantunya. Mereka sepakat untuk bergantian dengan ditentukan oleh bacaan Al Qur’an. Saat itu belum ada lembaran kertas (mushaf) ayat Alquran seperti sekarang. Jadi, mereka berdua membaca secara hafalan.
Tanpa kita sadari bahwa kita kadang terjebak dalam suasana yang laghwu, perjalanan yang jauh di dalam bus, kereta, pesawat, atau kapal laut kerap menyajikan tontonan yang laghwu atau hingar bingar musik yang tidak ada hentinya sepanjang perjalanan. Satu hal yang dapat kita lakukan untuk mengurangi dampak negatifnya adalah dengan membaca Al Qur’an, baik hafalan maupun dengan mushaf.
Begitu juga kesibukan sehari-hari kita. Tanpa kita sadari terkadang syetan membisikkan ke telinga kita, ”Teruskan pekerjaanmu… Ah, tanggung sedikit lagi…”sampai akhirnya ketika pekerjaan selesai pun kesibukan yang lain telah siap menunggu kita. Akhirnya setanlah yang berhasil menjauhkan kita dari Al Qur’an.
9. Melestarikan Budaya Salafus Shalih
Kalau kita kaji kembali sejarah kehidupan orang-orang yang shalih zaman dahulu (salafus shalih) akan kita dapatkan kehidupan yang cemerlang baik dalam hal pengetahuan maupun dalam hal ketaqwaan kepada Allah. Di antara kecemerlangan itu terlihat dalam perhatian mereka yang besar terhadap Al Qur’an. Mereka pelajari kitab tafsir yang sampai sekarang dapat kita nikmati. Mereka jugamempelajari tilawahnya dengan baik sampai mereka hafal, terbukti dengan adanya para para Imam Qira’ah seperti Imam Nafi’ bin Ruwaim, Ibnu Katsir, ’Ashim bin Abin Najud, Muhammad bin Muhammad Al Jazari dsb.
Suatu hal yang patuut dicacat adalah bahwa pengajaran Al Qur’an yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada kemampuan saja, kemudian selesai. Namun mereka juga memberikan perhatian dalam menghafal dan memahaminya. Dalam mentahfidzkan anak-anak, mereka lakukan sejak dini. Sehingga banyak tokoh-tokoh ulama sudah hafal Al Qur’an pada usia sebelum baligh. Imam Syafi’i misalnya telah hafidz pada usia 10 tahun. Begitu pun Ibnu Sina, filsuf & ahli pengobatan Islam.(sumber: Kiat Sukses Menjadi Hafizh Quran Daiyah, Abdul Aziz Abdul Rauf, Asy Syaamil, 2000).{}

Tidak ada komentar :

Posting Komentar