Mengapa Al Quran Perlu dan Harus Dihafal? (Bagian 2-habis)
Alasan keharusan menghafal Al Qur’an perlu kita pahami. Agar kita semakin
yakin bahwa umat Islam tidak mungkin terus-menerus hidup dalam keadaan krisis
kekurangan penghafal Al Quran seperti saat ini. Umat Islam khususnya para
aktivis dakwah harus bangkit membangun kembali masa keemasan yang telah diraih
oleh salafus shalih (orang shalih terdahulu) melalui Alquran.
Menghafal Al-Quran dan memperbanyak lembaga-lembaga Al Qur’an insya Allah
merupakan suatu usaha di antara sekian usaha yang dapat di lakukan oleh para
da’i untuk mengembalikan kejayaan umat kepada Al Qur’an sebagai pedoman hidup
bagi mereka. Para ulama mengatakan, ”Setiap kewajiban yang tidak akan sempurna
kecuali dengan melakukan suatu pekerjaan, maka (pekerjaan) itu wajib
dilakukan.”
Adapun alasan pentingnya menghafal Alquran pada bagian lalu ada empat,
yaitu:
1. Al Qur’an adalah manhajul hayah
(pedoman hidup) bagi seluruh manusia.
2. Al Qur’an adalah ruh bagi orang-orang yang beriman
3. Al Qur’an sebagai Ad Dzikra
(peringatan)
4. Al Qur’an sumber pengetahuan alam
Berikut ini beberapa pertimbangan lain mengapa Al Quran perlu dan harus
dihafal, yaitu:
5. Menjaga Ke-mutawatir-an Al
Qur’an.
Apakah yang dimaksud berita yang mutawatir? Ulama hadits
menjelaskan yaitu, ”Sesuatu yang diriwayatkan oleh orang banyak sehingga
mustahil biasanya mereka bersatu dalam kedustaan.” Contohnya bahwa mustahil
kalau ada berita bahwa Ka’bah terletak di Mesir, karena secara mutawatir
orang mengatakan letaknya di Mekkah.
Kemudahan dalam membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ada sejak 14 abad
lalu tanpa terkurangi kata bahkan juga hurufnya. Ini merupakan kenikmatan besar
yang harus kita syukuri umat Islam. Hal ini juga tidak terlepas dari jasa para huffazh
(para hafidz Al Quran) yang jumlahnya jutaan dan terus ada sepanjang sejarah
kehidupan manusia sejak diturunkan Qur’an sampai sekarang. Sehingga Al Qur’an
teriwayatkan secara mutawatir dan tidak mudah bahkan tidak mungkin
diubah atau dipalsukan oleh tangan-tangan kotor sebagaimana kitab-kitab suci
sebelumnya.
Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa hifzhul Qur’an
(menghafal Alquran) hukumnya fardhu kifayah. Hal ini agar tidak terjadi
pemutusan jumlah kemutawatiran Al Qur’an dan pengrusakan atau
pemalsuan oleh tangan-tangan kotor.
Pemahaman fardhu kifayah harus kita pahami secara proposional. Karena saat
ini terjadi pemahaman fardhu kifayah yang sempit. Kifayah artinya
cukup. Masuk akalkah kaum muslimin di Indonesia misalnya, yang jumlahnya lebih
dari 210 juta namun yang hafal Al Qur’an tidak ada satu persen pun? Sehingga
andaikata para penghafal Al Qur’an yang ada sekarang menangani pembinaan umat
tertentu tidak akan memadai jumlahnya. Karena itu, pelaksanaan fardhu kifayah
dalam hifzhul qur’an perlu digalakkan.
Mereka yang telah andil dalam menjaga kemutawatiran Al Qur’an
sungguh telah mendapat kehormatan rabbani dari Allah swt. sebagai
penjaga keaslian Al Qur’an. Maka wajarlah jika mereka mendapat berbagai macam sebutan,
misalnya pilihan Allah (QS 35:32), orang yang telah diberi ilmu (QS. 29:45).
Sedangkan Rasulullah menyebutnya sebagai Ahlullah (keluarga Allah).
Hadits lain menyebutkan mereka hampir menyamai nubuwah (kenabian).
Hanya bedanya mereka tidak menerima wahyu langsung.
6. Meningkatkan kualitas umat
Umat Islam telah dibekali oleh Allah swt. suatu mukjizat yang sangat besar.
Ia merupakan sumber ilmu dan petunjuk bagi manusia. Tidak terangkat umat ini
kecuali dengan Al Qur’an. ” Allah menjelaskan, ”Sesungguhnya telah Kami
turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab
kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya?” (QS. Al Anbiya 10).
Tantangan saat ini adalah mempukah kita mengali potensi yang sangat besar
ini? Jawabannya, sungguh sangat mampu. Ada kemauan ada jalan. Allah
memberi jaminan kemudahan bagi yang serius. ”Dan sesungguhnya telah Kami
mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”
demikian janji Allah (QS. Al Qamar 17). Tak hanya satu ayat, tapi Allah,
mengulangnya hingga empat kali di surat yang sama (ayat 17, 22, 32, dan 40).
Tinggal sekarang bagaimana kita merespon janji Allah ini.
Mungkin ada yang berdalih, ”Saya kan sudah tua. Sulit sekali mengingat atau
menghafal.” Bukankah banyak sahabat Rasulullah saw. mempelajari dan menghafal
Al Quran setelah dewasa? Jadi usia bukanlah halangan. Apalagi kondisi kita
sedang dalam tenang dan damai. Jauh berbeda jika dibandingkan tahanan Palestina
di Israel yang mengubah penjara menjadi madrasah hafidz Al Quran.
Seorang tahanan Plestina bernama Abu Muaz (52 tahun) berbicara melalui
telepon kepada islamonline.com, “Para tahanan di sini berusaha mengisi
waktu mereka dengan apapun yang berguna, ini merupakan tantangan antara napi
dan sipir penjara. Karena kami ditangkap dan dipenjara dengan tujuan memberi
kehidupan psikologis yang ditekan. Tapi keinginan mereka itu tidak berhasil.”
Program penghafalan Al Quran di penjara Israel ini pada 2009 lalu telah
melahirkan 73 orang hafidz Al Quran dengan ijazah sanad 30 juz. Selain itu ada
299 tahanan juga yang memperoleh ijazah tajwid (http://www.dakwatuna.com/2010/tahanan-palestina-ubah-penjara-israel-jadi-pusat-tahfidz-al-quran/).
Sikap pesimisme untuk menggali Al Qur’an merupakan warisan Yahudi dan
Nashrani yang telah berjuang dengan keras bahkan dengan mengeluarkan jutaan
dollar untuk menjauhkan umat ini dari Al Qur’an. Mereka sangat paham dampak
positif jika umat ini kembali kepada Al Qur’an. Kehancuran sistem kebathilan mereka
pasti akan terjadi. Hal inilah yang tidak diinginkan mereka, karena mereka akan
mengalami kerugian baik secara ekonomi maupun ideologi.
7. Menjaga kelestarian sunnah-sunnah Rasulullah saw.
Sebagian ibadah yang dilakukan Rasulullah saw. ada yang sangat terkait
dengan hafalan Al Qur’an. Hafalan yang terbatas pada surat-surat pendek dalam
juz 30 akan membatasi kita dalam meneladani ibadah beliau secara sempurna.
Perhatikan, bagaimana beliau membaca surat-surat Al Qur’an ketika shalat Id,
Jumat, Subuh, Khusuf dan Kusuf (shalat gerhana matahari dan bulan) serta qiyamullail
(tahajud).
Shalat Jumat yang ideal (sesuai tuntunan Nabi) adalah memendekkan khutbah
dan memanjangkan shalat. beliau menegaskan, bahwa cara seperti itu merupakan
tanda bagi dien seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya panjangnya
shalat dan singkatnya khotbah, menunjukkan pemahaman seseorang dalam agama.
Maka dari itu, panjangkanlah shalat dan singkatkanlah khotbah” (HR. Muslim dan
Ahmad dari ‘Ammar bin Yasir ra.). Selain membaca surat Al A’la dan Al Ghasyiah,
Rasulullah saw. biasa shalat Jumat membaca Al Jumu’ah & Al Munafiqun. Yang
kalau diukur dengan kuantitas halaman, dua surat itu masing-masing panjangnya
1,5 halaman.
Bagaimana dengan shalat subuhnya Nabi saw? Beliau sering melakukannya dengan
membaca surat-surat yang panjang. Pada hari Jumat Subuh dua surat yang dibaca
adalah surat As Sajdah dan Al Insan. Pada hari-hari yang lain beliau juga
membaca surat-surat yang panjang seperti surat Ar Rum dan yang lain. Pada waktu
shalat Idain (dua hari raya) selain membaca surat Al A’la dan Al
Ghasiyah, beliau sering juga membaca surat Qaaf dan Al Qamar yang lamanya bisa
mencapai setengah jam. Beliau pernah membaca surat Al Baqarah dan Ali ’Imran
dalam tahajud. Pernah juga ditambah surat An Nisaa. Karena panjangnya bacaan,
nyaris membuat Hudzaifah yang ikut berjamaah meninggalkan beliau.
Keterangan ini seakan memberi teguran kepada kita betapa umat ini sangat
kurang akrab dengan Al Qur’an. Surat-surat yang dibaca oleh para imam masjid
atau mushalla terbatas pada surat-surat di Juz Amma (juz 30). Sehingga surat
lain menjadi asing di telingga kita. Keadaan ini telah berlangsung
bertahun-tahun tanpa ada usaha peningkatan. Wajarlah jika generasi
sekarang yang ingin menghafal Al Qur’an harus berjuang ekstra keras karena
telinga mereka tidak biasa terlatih mendengarkan ayat-ayat panjang.
8. Menjauhkan mukmin dari aktivitas laghwu
(tak berguna)
Mukmin yang sejati adalah mukmin yang telah berhasil menjauhkan dirinya dari
aktivitas laghwu, baik yang mubah (boleh) apalagi yang haram. Ia harus
memiliki sikap yang tidak mudah terbawa oleh arus deras yang membuatnya lupa
kepada Allah. Maka wajarlah jika Allah menjamin kesuksesan bagi mereka di dunia
dan di akhirat. Firman-Nya, ”Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu
orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang laghwu.” (QS. Al Mukminun 1-3).
Banyak cara yang dapat kita lakukan agar kita terhindar dari laghwu. Kembali
kepada Al Qur’an adalah salah satu di antaranya. Dengan selalu membaca apalagi
menghafalnya, otomatis akan menjauhkan kita dari laghwu.
Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab ra pernah menempuh perjalanan dari
Madinah menuju Baitul Maqdis (Palestina). Ia mengendarai keledai secara
bergantian dengan Aslam, pembantunya. Mereka sepakat untuk bergantian dengan
ditentukan oleh bacaan Al Qur’an. Saat itu belum ada lembaran kertas (mushaf)
ayat Alquran seperti sekarang. Jadi, mereka berdua membaca secara hafalan.
Tanpa kita sadari bahwa kita kadang terjebak dalam suasana yang laghwu,
perjalanan yang jauh di dalam bus, kereta, pesawat, atau kapal laut kerap
menyajikan tontonan yang laghwu atau hingar bingar musik yang tidak
ada hentinya sepanjang perjalanan. Satu hal yang dapat kita lakukan untuk
mengurangi dampak negatifnya adalah dengan membaca Al Qur’an, baik hafalan
maupun dengan mushaf.
Begitu juga kesibukan sehari-hari kita. Tanpa kita sadari terkadang syetan
membisikkan ke telinga kita, ”Teruskan pekerjaanmu… Ah, tanggung sedikit
lagi…”sampai akhirnya ketika pekerjaan selesai pun kesibukan yang lain
telah siap menunggu kita. Akhirnya setanlah yang berhasil menjauhkan kita dari
Al Qur’an.
9. Melestarikan Budaya Salafus Shalih
Kalau kita kaji kembali sejarah kehidupan orang-orang yang shalih zaman
dahulu (salafus shalih) akan kita dapatkan kehidupan yang cemerlang
baik dalam hal pengetahuan maupun dalam hal ketaqwaan kepada Allah. Di antara
kecemerlangan itu terlihat dalam perhatian mereka yang besar terhadap Al
Qur’an. Mereka pelajari kitab tafsir yang sampai sekarang dapat kita nikmati.
Mereka jugamempelajari tilawahnya dengan baik sampai mereka hafal, terbukti
dengan adanya para para Imam Qira’ah seperti Imam Nafi’ bin Ruwaim, Ibnu
Katsir, ’Ashim bin Abin Najud, Muhammad bin Muhammad Al Jazari dsb.
Suatu hal yang patuut dicacat adalah bahwa pengajaran Al Qur’an yang mereka
lakukan tidak hanya terbatas pada kemampuan saja, kemudian selesai. Namun
mereka juga memberikan perhatian dalam menghafal dan memahaminya. Dalam mentahfidzkan
anak-anak, mereka lakukan sejak dini. Sehingga banyak tokoh-tokoh ulama sudah
hafal Al Qur’an pada usia sebelum baligh. Imam Syafi’i misalnya telah hafidz
pada usia 10 tahun. Begitu pun Ibnu Sina, filsuf & ahli pengobatan
Islam.(sumber: Kiat Sukses Menjadi Hafizh Quran Daiyah, Abdul Aziz
Abdul Rauf, Asy Syaamil, 2000).{}
Tidak ada komentar :
Posting Komentar